Sabtu, 21 Desember 2013

fiqh muamalah

MUSYARAKAH
(TINJAUAN TEORITIS)


MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Pada Mata Kuliah Fiqh Muamalah (FM)

Dosen Pengampu : Ali Amin Isfandiar, M. Ag.


Oleh :
Tri Ragil Yuniar Sidiq
NIM. 2013113115
Semester / Kelas : I / C

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2013




MUSYARAKAH (SYIRKAH)
(TINJAUAN TEORITIS)

A.    PENDAHULUAN
Untuk menjadi perusahaan yang berkembang dan dapat bertahan di dalam dunia bisnis dibutuhkan permodalan yang baik dalam suatu perusahaan. Oleh sebab itu maka diperlukannya kerjasama yang baik pula.
Seiring dengan berkembangnya system keuangan syariah yang ada dibelahan dunia membawa prospek yang baik khususnya bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam untuk senantiasa menggunakan fasilitas produk pembiayaan keuangan yang berbasis syariah yang menerapkan system bagi hasil bila mendapatkan keuntungan dan saling menanggung resiko bila terjadi kerugian dalam usahanya, dengan banyaknya produk yang ditawarkan dan banyaknya pula transaksi yang berkaitan dengan pembiayaan syariah salah satunya produk yang sering terdengar oleh kita adalah pembiayaan musyarakah dimana produk ini merupakan bagian dari akad tijarah yang bersifat profit (memaksimalkan keuntungan).
Pembiayaan musyarakah yang kian diminati oleh para nasabah dan pemodal untuk berinvestasi dalam sebuah kegiatan usaha dimana system operasionalnya yaitu dengan menggabungkan modal dari 2 pihak atau lebih baik berupa keahlian maupun berbentuk dana.
Musyarakah adalah akad kerja sama antara para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka untuk tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah, mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu,baik yang sudah berjalan maupun yang baru. selanjutnya mitra dapat mengembalikan modal tersebut berikut bagi hasil yang telah disepakati secara bertahap atau sekaligus kepada bank.
Makalah ini akan memaparkan tentang Musyarakah, dengan sebaran sub topic di antaranya makna musyarakah, rukun dan syarat, dasar hukum, macam-macam musyarakah, tujuan dan manfaat musyarakah.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Musyarakah (Syirkah)
Musyarakah secara etimologis mempunyai arti percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
Secara terminologis, menurut Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, syirkah (musyarakah) adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, ketrampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nasabah.
Pembiayaan musyarakah dalam praktek bank syariah dikenal dengan istilah joint venture yaitu bank menerima modal dari pihak lain dan berperan sebagai shahib al-mal serta penjamin modal yang diberikan. Pihak bank boleh saja ikut serta dan terlibat dalam kegiatan tersebut sesuai dengan aturan yang ditetapkan bank.
Aqad musyarakah merupakan salah satu bentuk natural uncertainty contract yaitu  kontrak atau aqad dalam bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Tingkat returnnya bisa positif, negatif atau nol
Sistem bagi hasil yang digunakan pada pembiayaan musyarakah menggunakan sistem profit share yaitu keuntungan dibagi bersama oleh pihak yang berakad. Profit yang didapatkan dari akad kerjasama muyarakah dibagi berdasarkan kesepakatan antara masing-masing pihak. 
2.      Rukun dan Syarat Musyarakah (Syirkah)
Rukun Musyarakah antara lain:
a.       Anggota yang berserikat.
b.      Pokok-pokok perjanjian.
c.       Sighat atau akad.[1]
Syarat Syirkah menurut Malikiyah :
a.    Merdeka
b.    Baligh
c.    Pintar [2]
Beberapa syarat musyarakah menurut Ustmani yang dikutip Ascarya, antara lain:
a.       Syarat akad. Ada empat: 1). Syarat berlakunya akad (in’iqod); 2). Syarat sahnya akad (shihah); 3). Syarat terealisasinya akad (Nafadz); 4). Syarat lazim yang harus dipenuhi.
b.      Pembagian proporsi keuntungan. Dalam pembagian proporsi keuntungan harus dipenuhi hal-hal berikut:
(1)   Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada mitra usaha harus disepakati di awal kontrak/akad. Jika proporsi belum ditetapkan, akad tidak sah menurut syariah.
(2)   Rasio/nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan sesuai dengan keuntungan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan berdasarkan modal yang disebarkan.
c.       Penentuan proporsi keuntungan. Dalam menentukan proporsi keuntungan terdapat beberapa pendapat dari para ahli hukum Islam sebagai berikut:
(1)   Imam Malik dan Imam Syafe’I berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai dengan proporsi modal yang disertakan.
(2)   Imam Ahmad berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat pulsa berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan.
(3)   Imam Abu Hanifah, yang dapat dikatakan sebagai pendapat tengah-tengah, berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal.
d.      Pembagian kerugian. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa setiap mitra menggung kerugian sesuai dengan porsi investasinya.
e.       Sifat modal. Sebagian besar ahli hukum Islam berpendapat bahwa modal yang diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal likuid. Hal ini berarti bahwa akad musyarakah hanya dapat dengan uang dan tidak dapat dengan komoditas.
f.       Manajemen musyarakah.
g.      Penghentian musyarakah.[3]
3.      Dasar Hukum Musyarakah
1.    Al-Qur’an
فهم شركاء فى الثلث
Artinya
“Mereka bersekutu dalam yang sepertiga.” (QS. An-Nisa’ : 12).[4]
firman Allah SWT dalam surat Shad ayat 24.
Artinya: “...dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh; dan amat sedikit mereka ini...” (QS Shad: 24).

2.    Al-Hadist
عن ابى هريرة رفعه قال :ان الله يقول انا ثالث الشريكين مالم يخن احدهما صاحبه

Dari abu hurairah, Rasulullah bersabda: “sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati yang lainya” (H.R. Abu Dawud no. 2936, Dala kitab Al-Buyu dan Hakim).[5]

3.    Al-Ijma’
Umat Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.[6]



4.      Macam-macam Musyarakah
Pada dasarnya musyarakah (Syirkah) itu dibagi menjadi dua macam, yaitu Syirkah Amlak (perserikatan dalam kepemilikan) dan Syirkah ‘uqud/’akad (perserikatan berdasarkan akad).[7] Syirkah amlak terjadi disebabkan tidak melalui akad, tetapi karena melalui warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang berakibat pemilikan. Adapun syirkah akad tercipta karena adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk bekerja sama dalam member modal dan mereka sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
a.       Syirkah Amlak
Adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad. Syirkah ini ada 2 macam:
1.        Syirkah Sukarela (Ikhtiar)
Adalah perkongsian yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang yang bersekutu. Contohnya dua orang membeli atau member atau berwasiat tentang sesuatu dan keduanya menerima, maka jadilah pembeli, yang diberim dan yang diberi wasiat sekutu di antara keduanya, yakni perkongsian milik.
2.        Syirkah Paksaan (Ijbar)
Adalah perkongsian yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya, seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka yang diberi waris menjadi sekutu mereka.[8]
b.    Syirkah Uqud/Akad
Syaid sabiq membagi lagi syirkah akad menjadi empat bagian, antara lain:
1.        Syirkah inan,[9] yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk melakukan suatu usaha bersama dengan cara membagi untung atau rugi sesuai dengan jumlah modal masing-masing.
2.        Syirkah Mufawwadhah, yaitu kerja sama antara dua orangt atau lebih untuk melakukan suatu usaha dengan persyaratan sebagai berikut:
a.    Modalnya harus sama banyak.
b.    Mempunyai kesamaan wewenang dalam bertindak yang ada kaitannya dengan hukum.
c.    Mempunyai kesamaan dalam hal agama.
d.   Masing-masing anggota mempunyai hak untuk bertindak atas nama syirkah (kerja sama).
3.        Syirkah wujuh, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal.
4.        Syirkah abdan, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha atau pekerjaan.[10]
5.        Syirkah Mudharabah, yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pekerja dalam bentuk perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal saja.[11]

5.      Tujuan dan Manfaat Musyarakah
Tujuan dan manfaat musyarakah (syirkah) yaitu:
a.       Memberikan keuntungan kepada para anggota pemilik modal.
b.      Memberikan lapangan kerja kepada para karyawannya.
c.       Memberikan bantuan keuangan dari sebagian hasil usaha musyarakah (syirkah)untuk mendirikan tempat ibadah, sekolah, dan sebagainya.[12]

6.         Hikmah Musyarakah
Manusia tidak dapat hidup sendirian, pasti akan membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan. Ajaran islam, mengajarkan supaya kita menjalin kerja sama dengan siapa pun terutama dalam bidang ekonomi dengan prinsip saling tolong menolong dan menguntungkan, tidak menipu dan merugikan. Tanpa kerja sama, maka kita sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Syirkah pada hakikatnya adalah sebuah kerja sama saling menguntungkan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh karena itu, Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja sama kepada siapa saja dengan tetap memegang prinsip sebagaimana tersebut di atas. Maka hikmah yang dapat kita ambil dari syirkah yaitu adanya tolong menolong, saling bantu membantu dalam kebaikan, menjauhi sifat egois, menumbuhkan saling percaya, menyadari kelemahan, dan kekurangan, dan menimbulkan keberkahan dalam usaha jika tidak berkhianat.
Allah swt. berfirman dalam surat Al-Maidah ayat : 2
Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan sesungguhnya azab Allah sangat pedih. (QS.:2/2)[13]



7.         Mengakhiri Musyarakah
Syirkah/Musyarakah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:
1.      Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
2.      Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelola harta), baik karena gila maupun karena alasan lainnya.
3.      Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang masih hidup.
4.      Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berkakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini di kemukakan oleh mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
5.      Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampuan, baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
6.      Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri.[14]




C.    PENUTUP
Setelah memaparkan rangkaian pembahasan dalam makalah ini, kesimpulan dan saran pembahasan yang komprehensif dapat disampaikan sebagai berikut :
1.      Kesimpulan
Pertama, Musyarakah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, ketrampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nasabah.
Kedua, Musyarakah mempunyai syarat dan rukun. Rukun musyarakah seperti, Anggota yang berserikat, Pokok-pokok perjanjian, Sighat atau akad. Dan musyarakah memiliki syarat seperti, Merdeka, Baligh, Pintar.
Ketiga, ada beberapa dasar hukum musyarakah yaitu menurut Al-Qur’an, Al-Hadist, dan Al-ijma’.
Keempat, macam-macam musyarakah ada 2 yaitu, syirkah amlak dan syirkah ‘uqud.
Kelima, hikmah dari musyarakah itu, kita bisa saling tolong menolong, saling bantu membantu dalam kebaikan, menjauhi sifat egois, menumbuhkan saling percaya, menyadari kelemahan, dan kekurangan, dan menimbulkan keberkahan dalam usaha jika tidak berkhianat.
2.      Saran Pembahasan
Dalam pembahasan tentang musyarakah yang penulis sampaikan terdapat beberapa kelemahan dan kekurangan. Adapun kekurangan tersebut terletak pada penulisan materi, penyampaian, juga dalam penjelasan mengenai Bab Musyarakah.
Namun penulis meyakini sesuatu yang mantap dapat berjalan sesuai dengan ridho-Nya, untuk itu penulis mantapkan pada satu hukum/pendapat yang diyakini hati.




DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku
·      H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
·      Prof. Dr. H. Abdul Rohman Ghazaly, MA., Drs. H. Ghufron Ihsan, MA., dan Drs. Sapiudin Shidiq, MA, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010.
·       DR. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2012.
·      Prof. DR. H. Rachmat Syafe’I, M.A, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
·      Modul Hikmah, Fiqh, Sragen: Akik Pusaka, 2008.

B.     Internet
·      http://shariaeconomics.blogspot.com/2010/10/al-musyarakah.html


[1] Modul Hikmah, Fiqh, (Sragen: Akik Pusaka,2008), hlm. 20.
[3] DR. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 221-223.
[4] Prof. DR. H. Rachmat Syafe’I, M.A, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia: 2004), hlm185.
[5] http://shariaeconomics.blogspot.com/2010/10/al-musyarakah.html
[6] Prof. DR. H. Rachmat Syafe’I, M.A, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia: 2004), hlm186
[7] Prof. Dr. H. Abdul Rohman Ghazaly, MA., Drs. H. Ghufron Ihsan, MA., dan Drs. Sapiudin Shidiq, MA, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 136.
[8] Prof. DR. H. Rachmat Syafe’I, M.A, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia: 2004), hlm187.
[9] Disebut juga syirkah al-amwal
[10] DR. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 226.
[11] Prof. Dr. H. Abdul Rohman Ghazaly, MA., Drs. H. Ghufron Ihsan, MA., dan Drs. Sapiudin Shidiq, MA, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 137.
[12] DR. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 226.
[13] Prof. Dr. H. Abdul Rohman Ghazaly, MA., Drs. H. Ghufron Ihsan, MA., dan Drs. Sapiudin Shidiq, MA, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 135.

[14] H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm 133-134.